Senin, 11 April 2011

PROFIL 27 BUTIR INTAN KALSEL

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Patut diduga, jumlah intan yang sudah berhasil ditemukan orang di Kalsel sangatlah banyak. Namun tidak semuanya diketahui ukuran karatnya sehingga tidak semuanya dapat diprofilkan. Berdasarkan kliping koran/majalah yang penulis miliki, jumlah intan Kalsel yang ukuran karatnya diketahui dengan pasti cuma sebanyak 27 butir.
Berikut ini penulis paparkan profil untuk 27 butir intan Kalsel dimaksud. Profil intan Kalsel ini sengaja disusun secara alpabetis, supaya tulisan ini dapat dengan mudah dipergunakan oleh para pembaca sebagai bahan rujukan di kemudian hari.

GALUH BADU
Nama intan sebesar 26 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan anonim di lokasi pendulangan intan tradisional Bentok, Kecamatan Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalsel, pada tahun 1967. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya.

GALUH BANGKIRAI 1
Nama intan sebesar 10 karat yang ditemukan oleh M. Arsyad di lokasi pendulangan intan tradisional Sungai Bangkirai, Pumpung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel. Tidak lama kemudian intan ini dijual dengan harga Rp. 400 juta (SKH Radar Banjarmasin).



GALUH BANGKIRAI 2
Nama intan sebesar 27 karat yang ditemukan oleh M. Jani di lokasi pendulangan intan Sungai Bangkirai, Pumpung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, pada tanggal 1 Juli 2005. Tidak lama kemudian intan ini dijual dengan harga Rp. 1,6 milyar (SKH Radar Banjarmasin).

GALUH BARAKAT :
Nama intan sebesar 50 karat yang ditemukan oleh Syamlani di lokasi pendulangan intan tradisional Bumi Rata, Kecamatan Sungai Raya Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel, pada tanggal 17 November 1987.
Barakat dalam Bahasa Banjar artinya anugerah, berkah, berkat, atau pemberian. Ini berarti Galuh Barakat artinya intan yang diberikan Allah Swt sebagai anugerah, berkah, berkat, atau pemberian kepada orang yang menemukannya (Syamlawi).
Barakat sendiri merupakan kosa-kata bahasa Banjar yang terdapat pada lambang daerah Kabupaten Banjar. Tidak lama kemudian intan ini dijual dengan harga Rp. 202 juta. Pembelinya Celis Rony, seorang warga negara Belgia (Majalah Kartini Jakarta).

GALUH BULAN
Nama intan sebesar 27 karat yang ditemukan oleh seorang pendulang intan anonim di lokasi pendulangan intan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, Intan tsb diberi nama Galuh Bulan. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya.





GALUH CEMPAKA 1
Nama intan sebesar 12 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan anonim di lokasi pendulangan intan Cempaka, Kerajaan Banjar. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya.

GALUH CEMPAKA 2
Nama intan sebesar 13 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan anonim di lokasi pendulangan intan Cempaka, Kerajaan Banjar. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya.

GALUH CEMPAKA 3
Nama intan sebesar 20 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan anonim di lokasi pendulangan intan Cempaka, Kerajaan Banjar. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya.

GALUH CEMPAKA 4,
Nama intan sebesar 77 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan anonim di lokasi pendulangan intan Cempaka, Kerajaan Banjar. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya, dan berapa harga jualnya.

GALUH CEMPAKA 5
Nama intan sebesar 106 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan anonim di lokasi pendulangan intan Cempaka, Kerajaan Banjar. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya.

GALUH CEMPAKA 6
Nama intan sebesar 29,75 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan anonim di lokasi pendulangan intan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru), Kalsel, pada tanggal 18 Agustus 1966. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya.

GALUH CEMPAKA 7
Nama intan sebesar 29 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan pada tanggal 31 Desember 1970 di salah satu lokasi pendulangan intan tradisional yang ada di Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru). Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya (Majalah Tempo Jakarta, 26 September 1987).

GALUH HAMSAN
Nama intan sebesar 14 karat yang ditemukan oleh Hamsan pada tanggal 21 Agustus 1987. Tidak diketahui dengan pasti di mana Hamsan menemukannya, kepada siapa intan itu dijualnya, dan berapa harga jualnya. Hanya Hamsan yang tahu.

GALUH KAIT KAIT GUNUNG
Nama intan sebesar 16 karat yang ditemukan oleh Ma’ruf di lokasi pendulangan intan Kait Kait Gunung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, pada tanggal 25 Pebruari 1991. Tidak lama kemudian intan ini dijual dengan harga 225 juta (SKH Banjarmasin Post, 3 Maret 1991).

GALUH LUK PUNDUH
Nama intan sebesar 15,5 karat yang ditemukan oleh Awi Hasan di lokasi pendulangan intan tradisional Luk Punduh, Palam, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, pada tanggal 29 November 2004. Tidak diketahui siapa pembelinya dan berapa harga jualnya (SKH Banjarmasin Post, 1 Desember 2004).

GALUH NOORSEHAT :
Nama intan sebesar 66 karat yang ditemukan oleh Safruddin di lokasi pendulangan intan tradisional Saka Musang, Desa Palam, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, pada tanggal 12 Mei 2002. Intan ini kemudian dijual dengan harga Rp. 11 Milyar.
Nama Noorsehat yang dijadikan sebagai nama intan merupakan nama seorang wanita pendulang intan yang tewas sebagai korban dalam kecelakaan kerja di lokasi pendulangan intan dimaksud (SKM Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin, Nomor 134, Tanggal 31 Mei -6 Juni 2002:9).

GALUH PUMPUNG
Nama intan sebesar 98 karat yang ditemukan Ijai di lokasi pendulangan intan Sungai Pumpung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru), Kalsel, pada tanggal 20 Oktober 1990. Tidak diketahui dengan pasti siapa pembelinya dan berapa harga jualnya (SKH Banjarmasin Post, 16 November 1990).

GALUH PUMPUNG BALAHINDANG
Nama intan sebesar 34 karat yang ditemukan oleh Muhammad Syarifuddin (Isyar) di lokasi pendulangan intan Pumpung Ilir, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, pada tanggal 30 November 2004.
Galuh artinya putri, dan balahindang artinya pelangi. Jadi Galuh Balahindang artinya Putri Pelangi (bahasa Banjar). Nama itu diberikan karena intan ini memancarkan aneka cahaya warna-warni persis seperti pelangi. Intan jenis ini lajim disebut intan jambun. Tidak lama kemudian intan ini dijual dengan harga Rp. 2 milyar (Tabloid Bebas Banjarmasin, Edisi 15-21 Desember 2004).
GALUH RIAM KIWA
:Nama intan sebesar 33 karat yang ditemukan oleh Haderi pada tanggal 13 Agustus 1987 di lokasi pendulangan intan tradisional Sungai Riam Kiwa, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalsel. Tidak lama kemudian intan ini dijual dengan harga Rp. 80 juta (Majalah Tempo Jakarta, 26 September 1987).

GALUH SUNGAI RANCAH :
Nama intan sebesar 4 karat yang ditemukan oleh Saidul Husien di lokasi pendulangan intan tradisional Sungai Rancah, Pamasiran, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel (SKH Banjarmasin Post).

GALUH SUNGAI TIUNG
Nama intan sebesar 20 karat yang ditemukan Asnawi di lokasi pendulangan intan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru), Kalsel, pada tanggal 20 Agustus 1989. Intan tsb diberi nama Galuh Sungai Tiung. Tidak lama kemudian dijual dengan harga Rp. 215 juta.

GALUH UJUNG MURUNG
Nama intan sebesar 77 karat yang ditemukan oleh M. Subeli, M. Jassin, Udin, dan Fakhriadi di lokasi pendulangan intan Ujung Murung, Kait Kait, Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, pada tanggal 16 Mei 1999. Tidak lama kemudian intan ini dijual dengan harga Rp. 4,1 milyar (SKH Dinamika Berita, 22 Mei 1999).

INTAN ANUGERAH
Nama intan sebesar 61 karat yang ditemukan oleh Husaini di tepi Sungai Rantau Bujur, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalsel, pada tanggal 5 Juli 1989.
Berbeda dengan penemuan intan di Kalsel pada umumnya, IA tidak ditemukan di sebuah lokasi pendulangan intan tradisional, tetapi ditemukan oleh Husaini di antara tumpukan batu yang ada di tepi sungai Rantau Bujur.
Ketika itu, Husaini sendiri tidak sedang menekuni profesinya sebagai seorang pendulang intan, tetapi sedang menjala ikan. Nama IA diberikan oleh Bupati Banjar Rusiansyah BSc.
Tidak lama kemudian intan ini dijual dengan harga Rp. 200 juta. Pembelinya So Teng, alias seorang warga yang tinggal di kota Surabaya (Majalah Liberty Surabaya).

INTAN PUTRI MALU
Nama intan sebesar 200 karat yang ditemukan oleh Misran di lokasi pendulangan intan Antaruku, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel, pada tanggal 1 Januari 2008.
Nama Putri Malu diberikan oleh Habib Muhiddin seorang tokoh masyarakat di desa Antaruku. Konon, beberapa waktu sebelumnya, Habib Muhiddin bermimpi didatangi oleh seorang wanita cantik. Tapi, begitu mau didekati wanita cantik itu tampak malu-malu.
Pada tanggal 21 Januari 2008, IPM dibeli oleh Lihan seorang pengusaha dari kota Martapura dengan harga Rp. 3 milyar (SKH Metro Banjar, Banjarmasin, 22 Januari 2008).

INTAN SULTAN ADAM
Nama intan sebesar 103 karat milik Sultan Adam, Raja Diraja Kerajaan Banjar yang berkuasa pada tahun 1825-1857. Harganya pada tahun 1857 ditaksir sekitar Fl 50.000 atau setara dengan 25.000 real (Syamsuddin, 2001:129).

INTAN SULTAN SULAIMAN
Nama intan sebesar 26 karat milik Sultan Sulaiman, Raja Diraja Kerajaan Banjar yang berkuasa pada tahun 1801-1825. Harganya pada tahun 1809 ditaksir sekitar Fl 50.000 atau setara dengan 25.000 real.
Pada tanggal 9 September 1809, Sultan Sulaiman menyerahkan intan miliknya itu kepada utusan khusus Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (HW Daendels) sebagai alat penukar untuk mengambil alih kepemilikan atas benteng-benteng Belanda yang ada di Pulau Tatas (Banjarmasin) dan di Pantai Tabonio (Syamsuddin, 2001:82).

INTAN TRISAKTI
Nama intan sebesar 166,75 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan dibawah pimpinan H. Madslam dkk (24 orang) di lokasi pendulangan intan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru), Kalsel, pada tanggal 26 Agustus 1965. Nama IT diberikan oleh Presiden Soekarno.
Menurut versi piagam yang diberikan oleh Menteri Pertambangan Republik Indonesia (Armunanto), IT tidak dijual oleh para penemunya tetapi dipersembahkan kepada Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno (Majalah Sarinah Jakarta). Atas jasa bakti persembahan itu pemerintah berjanji akan memberikan balas jasa yang sepadan kepada para H. Madslam dkk.
Balas jasa memang diberikan dalam bentuk ongkos naik haji untuk para penemu intan ditambah dengan sanak keluarganya, dan para pejabat yang terlibat. Jika dihitung secara keseluruhan, akumulasi uang balas jasa yang diberikan pemerintah kepada H. Madslam dkk ketika itu tercatat sebesar Rp. 3,5 juta. Padahal, konon menurut taksiran kasar, harga yang pantas untuk IT ketika itu adalah Rp. 10 Trilyun.

DUA PULUH SATU PANTANGAN DI LOKASI PENDULANGAN INTAN DI KALSEL

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Sejak kecil aku sudah akrab dengan lingkungan pendulangan intan. Kampung Guntung Lua, tempat tinggalku pada tahun 1969-1979, merupakan salah satu lokasi pendulangan intan yang terbilang penting di kota Banjarbaru.
Kampung Guntung Lua terletak di tepi sungai Kemuning. Para pendulang intan yang aktif bekerja pada kurun waktu 1970-an pasti mempunyai kenangan tersendiri atas sungai Kemuning. Hal ini mengingat di tepi kiri dan kanan sungai Kemuning inilah mereka dulu bekerja mendulang intan.
Lokasi pendulangan intan di kota Banjarbaru ketika itu terbentang sepanjang dua kilometer. Mulai dari kampung Karamunting di hulu sampai ke kampung Guntung Lua di hilir. Terkait dengan aktifitas pendulangan intan di sepanjang tepi kiri dan kanannya inilah maka air sungai Kemuning selalu keruh sepanjang hari. Uniknya, hingga sekarang air sungai Kemuning masih tetap keruh. Padahal, sudah puluhan tahun kegiatan pendulangan intan tidak lagi dilakukan orang di sini.
Aku memulai karierku sebagai pendulang intan sejak tahun 1970. Usiaku ketika itu baru 12 tahun. Aku lahir di Banjarmasin pada tahun 1958. Namun sejak tahun 1960 aku sudah diboyong orang tuaku pindah ke kota Banjarbaru.
Mula-mula aku ikut ayahku mendulang intan di kampung Guntung Lua tak jauh dari rumahku. Aku dan kakakku bertugas membawa batu dulangan dari tumpukannya di sekitar lokasi lubang galian ke lokasi pencuciannya di tepi sungai. Batu dulangan itu kami masukan ke dalam bakul purun lalu kami panggul sebakul demi sebakul ke lokasi pencuciannya. Jarak yang harus kami tempuh cukup jauh, sekitar 200 meter.
Aku masih ingat, aku ketika itu sering ditegur ayahku karena selalu berkacak pinggang. Sekali waktu aku bahkan ditimpuk orang dengan sebutir batu kerikil oleh seorang pendulang intan lain yang marah karena aku bersiul-siul di lokasi pendulangan intan.Belakangan barulah aku mengetahui jika berkacak pinggang dan bersiul-siul di lokasi pendulangan intan sangat tabu dilakukan.
Para pendulang intan membayangkan intan yang sedang mereka cari dengan susah payah itu ditaburkan oleh para gadis yang berasal dari alam gaib bawah tanah (bahasa Banjar alam subalah). Dua di antara gadis penabur intan itu konon bernama Siti Anggani dan Putri Sahanjani.
Siang hari, ketika para pendulang intan sedang asyik bekerja, Siti Anggani, Putri Sahanjani, dan kawan-kawannya yang lain bekerja menaburkan butiran intan ke dalam lubang pendulangan yang sedang digali orang. Siti Anggani, Putri Hanjani dan kawan-kawan itu konon mondar-mandir kian ke mari dari lubang yang satu ke lubang yang lain. Mereka memilih lubang yang layak untuk ditaburi intan. Pemilik lubang yang mereka pilih untuk ditaburi intan adalah pendulang intan yang mereka nilai paling tertib. Dalam hal ini pendulang intan yang tidak pernah melanggar tabu-tabu yang berlaku. Konon, para gadis dari alam gaib yang bertugas menaburkan butiran intan ke dalam lubang galian itu akan segera lari bertemperasan begitu melihat ada orang berdiri sambil berkacak pinggang atau mendengar suara siulan.
Rupa-rupanya, karena itulah maka ada pendulang intan lain yang tanpa segan-segan menimpukku dengan batu kerikil begitu mengetahui akulah orang yang bersiul di lokasi pendulangan intan. Aku dengan refleks menoleh ke arah orang yang menimpukku. Orang itu menyeringai sambil memberi isyarat agar aku berhenti bersiul dengan cara menyilangkan jari telunjuk ke bibirnya. Tidak hanya itu, orang itu juga mengirimkan isyarat bernada ancaman, ia mengacungkan tinjunya ke arahku. Aku jadi keder, nyaliku langsung ciut karena para pendulang intan lainnya sepertinya berpihak kepada orang itu. Untunglah, ayahku tidak menyaksikan adegan panas itu, karena beliau ketika itu tengah berada di dalam lubang pendulangan. Beliau sedang asyik mengeruki batu dulangan yang menilik dari warna dan bentuk fisiknya diduga mengandung banyak intan.
Semakin lama bekerja sebagai pendulang intan semakin banyak pula informasi mengenai pantangan-pantangan yang tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan. Setidak-tidaknya ada 21 pantangan yang sempat kucatat ketika itu.

BERKACAK PINGGANG
Berkacak pinggang tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan karena bagi para gadis dari alam gaib tsb (Siti Anggani, Putri Hanjani, dan kawan-kawannya), berkacak pinggang dianggap sebagai perilaku baru yang mencerminkan bahwa pelakunya adalah seorang yang sombong.

BERSIUL-SIUL
Bersiul-siul tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan karena para gadis dari alam gaib tsb merasa dilecehkan. Mereka menuntut penghormatan yang setara dengan jasa mereka sebagai penabur intan yang tentunya identik dengan status sebagai pemberi rezeki.

MENYALAKAN API
Menyalakan api tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan, karena kulit tubuh para gadis dari alam gaib tsb sangat sensitif dengan api. Maklumlah, sebagai makhluk berjenis jin tubuh mereka diciptakan Tuhan dari api.

MEMBAWA AYAM
Membawa ayam tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan karena para gadis dari alam gaib sangat alergi dengan ayam. Bagi mereka ayam merupakan binatang yang sangat menakutkan. Sama seperti halnya tikus bagi sebagian besar
kaum wanita dari kalangan manusia.

MELENGGAK-LENGGOKKAN BADAN
Melenggang-lenggokkan badan dengan gerakan yang tidak karuan (tidak senonoh) tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan karena para gadis dari alam gaib merasa dilecehkan dengan perbuatan itu. Mereka menuntut penghormatan yang setara dengan jasa mereka sebagai penabur intan yang tentunya identik dengan status sebagai pemberi rezeki.

BERPAKAIAN SEKSI
Berpakaian seksi yang dapat merangsang nafsi birahi lawan jenis tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan karena para gadis dari alam gaib merasa dilecehkan dengan perbuatan itu. Mereka menuntut penghormatan yang setara dengan jasa mereka sebagai penabur intan yang tentunya identik dengan status sebagai pemberi rezeki.

MENUNJUK-NUNJUK SESUATU
Menunjuk sesuatu dengan jari telunjuk tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan. Segala sesuatu yang ada di lokasi pendulangan intan harus ditunjuk dengan menggunakan jari jempol.
Hal ini berkaitan dengan etika kesopanan. Konon, para gadis dari alam gaib yang bertugas sebagai penabur intan tidak suka melihat orang menunjuk-nunjuk dengan jari telunjuknya. Orang seperti itu dinilai sebagai orang sombong yang tidak tahu etika sopan santun.

MAKAN NASI
Memakan nasi di dalam lubang pendulangan tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan. Kegiatan makan siang harus dilakukan jauh dari lubang pendulangan, karena dikhawatirkan ada remah nasi yang tanpa sengaja masuk ke dalam lubang pendulangan.
Para gadis dari alam gaib itu konon sangat benci dengan nasi. Hal ini berkaitan dengan trauma masa purba sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah legenda.
Pada zaman dahulu kala padi dan intan pernah bersaing dalam merebut perhatian manusia. Ternyata manusia ketika itu memilih padi dan mengesampingkan intan.
Sejak itu intan melesak jauh ke dalam perut bumi sehingga sulit sekali dicari. Intan baru dapat diperoleh jika ada orang gaib bawah tanah berkenan membawakannya dari dalam perut bumi ke atas permukaan bumi.

MENGGALI LUBANG PENDULANGAN DI AREAL PERSAWAHAN
Masih berkaitan dengan legenda purba di atas, seorang pendulang intan juga ditabukan menggali lubang pendulangan di areal persawahan.
Begitu tabu itu dilanggar, maka areal persawahan itu akan berubah menjadi tanah walang (mandul) yang tidak dapat lagi ditanami padi.

BERSIN
Bersin di lubang pendulangan. Hal ini tabu dilakukan karena para gadis dari alam gaib akan terkejut mendengarnya dan mereka akan langsung pulang kembali ke alam bawah tanah tempatnya bermukim selama ini.




KENTUT
Kentut di lubang pendulangan. Hal ini ditabukan karena para gadis dari alam gaib sangat sensitif dengan bunyi kentut dan bau busuk yang menyebar setelah itu.
Sesungguhnya, tidak hanya para gadis dari alam gaib saja yang sensitif dengan bau kentut. Para gadis dari alam nyata juga tidak kalah sensitifnya jika mencium bau kentut beraroma telur asin, jengkol, petai, iwak wadi, atau pakasam.
Tidak percaya?
Silakan dicoba.

MAKAN JENGKOL ATAU PETAI
Masih berkaitan dengan bau busuk, para pendulang intan juga ditabukan untuk makan nasi dengan lalapan atau lauk pauk berupa telur asin, jengkol, petai. iwak wadi, dan pakasam.
Dapat dipastikan mulut yang bersangkutan akan menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung jika nekad makan nasi dengan lalapan atau lauk pauk yang disebutkan di atas.
Para gadis dari alam gaib diikhawatirkan tidak akan sanggup bertahan lama jika bau busuk bertebaran di seantero lokasi pendulangan intan

GULAI BUMBU BALI
Selain ditabukan makan berlalap dan berlauk telur asin, jengkol, petai, iwak wadi, atau pakasam. Seorang pendulang intan juga ditabukan membawa lauk pauk yang digulai dengan bumbu Bali yang identik dengan lombok merah (bahasa Banjar, masak habang).
Konon para gadis dari alam gaib sangat takut dengan darah. Mereka mengira semua yang berwarna merah sudah pasti adalah darah


BERKELAHI
Berkelahi di pendulangan intan, apalagi sampai menumpahkan darah sangat tabu dilakukan di pendulangan intan. Para gadis dari alam gaib itu sangat takut menyaksikan orang berkelahi.
.
MENSTRUASI
Masih berkaitan dengan darah. Wanita yang sedang mensturasi ditabukan untuk berada di lokasi pendulangan intan. Bagi para gadis dari alam gaib itu, lokasi pendulangan itu adalah tempat suci yang tidak boleh dinodai dengan segala sesuatu yang berbau darah.

KENCING, BERAK, DAN MELUDAH
Jika bersin dan kentut saja ditabukan, maka sudah barang tentu kencing, berak, dan meludah di dalam lubang pendulangan jauh lebih tabu lagi. Hal ini berkaitan dengan pandangan bahwa lokasi pendulangan intan merupakan tempat yang harus selalu dijaga kesuciannya.

MENGIBAS-NGIBASKAN PAKAIAN
Mengibas-ngibaskan pakaian. Hal ini ditabukan karena perbuatan dimaksud bisa disalah-tafsirkan oleh para gadis dari alam gaib sebagai isyarat pengusiran.

MENYENTUHKAN RAMBUT PADA ALAT KERJA
Menyentuhkan rambut dengan sengaja pada semua alat kerja mendulang intan, terutama sekali linggangan sangat ditabukan, karena hal itu dianggap merusak kesucian alat-alat kerja untuk mendulang intan..

MENGUCAPKAN KATA INTAN
Mengucapkan kata intan selama berada di lokasi pendulangan intan. Kata ganti untuk itu adalah galuh. Konon, para gadis dari alam gaib sangat marah mendengar ada orang yang berani menyebut kata intan tanpa tedeng aling-aling.
Hal itu dianggap melanggar etika kesopanan. Sama tidak sopannya dengan seorang anak yang begitu berani memanggil orang lain yang usianya lebih tua dengan cara langsung menyebut namanya tanpa embel-embel sama sekali (bahasa Banjar, basisi).

MENGUCAPKAN KATA-KATA JOROK
Mengucapkan kata-kata jorok yang berkonotasi pada alat perkelaminan (porno) sangat tabu dilakukan di lokasi pendulangan intan. Sama tabunya dengan mengucapkan kata intan. Hal ini berkaitan dengan etika kesopanan. Para gadis dari alam gaib itu akan merasa dilecehkan jika ada pendulang intan yang mengucapkannya dengan sengaja.

MENGUCAPKAN KATA-KATA TERTENTU
Selain kata intan dan kata-kata berkonotasi porno, masih ada sejumlah kata lain yang juga tabu untuk diucapkan dan harus harus diganti dengan kata lain.
Contoh, bulik (bahasa Banjar, artinya pulang harus diganti dengan mara). Dapat (bahasa Banjar, artinya memperoleh diganti dengan pakulih). Hujan (runtuh). Makan (muat). Nasi (biji). Sial (licung). Tulak (bahasa Banjar artinya pergi, harus diganti menjadi para). Turun (bahasa Banjar, artinya masuk ke dalam lubang galian, harus diganti menjadi mara), dan ular (akar).

Naskah ini dan sejumlah naskah lain akan dikumpulkan dalam buku berjudul Tragedi Intan Trisakti oleh Rumah Pustakan Folklor Banjart

MENDULANG INTAN DI KALSEL TAK LAGI MENJANJIKAN

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Mantan Pendulang Intan 1975-1979

Pekerjaaan sebagai pendulang intan di Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, sekarang ini sudah tidak lagi menjanjikan seperti yang berlaku pada kurun waktu 1960-1979. Ketika itu, para pendulang intan dapat dengan mudah menemukan intan di berbagai lokasi pendulangan intan yang ada di daerah Kalsel.
Hanya dengan menggali lubang pendulangan sedalam 1-2 meter saja para pendulang intan sudah dapat mengeruk batu dulangan yang dicarinya. Batu dulangan adalah batu yang diduga mengandung intan, yakni batu kerikil yang masih bercampur dengan tanah liat (gravel).
Dulu, tidak ada cerita lubang pendulangan yang kosong melompong tanpa kandungan intan sama sekali. Konon, di dalam setiap tumpukan batu dulangan dengan ukuran satu meter kubik persegi pasti terselip kandungan intan antara 1-5 butir dengan ukuran besar antara 1-5 karat.
Pada masa sekarang ini tidak ada lagi lubang pendulangan yang kedalamannya cuma 1-2 meter tanpa sumber air sama sekali. Lubang pendulangan yang paling dangkal sekarang ini adalah 5 meter dengan sumber air yang cukup deras (luang dalam babanyu).
Dulu, karena kedalamannya cuma 1-2 meter dengan kondisi lubang tidak berair (luang surut kada babanyu), maka sebuah lubang pendulangan dapat saja dikerjakan oleh sekelompok pendulang intan dengan jumlah anggota antara 2-6 orang saja.
Sekarang, karena kedalamannya minimal 5 meter dengan kondisi lubang berair, maka sebuah lubang pendulangan harus dikerjakan oleh sekelompok pendulang intan dengan jumlah anggota antara 15-30 orang.
Pekerjaan sebagai pendulang intan sekarang ini tidak bisa lagi dilakukan secara amatiran seperti dulu, tetapi harus dikerjakan secara profesional oleh sebuah kelompok pendulang intan. Selain itu, di dalam setiap kelompok pendulang intan sekarang ini harus ada seorang atau beberapa orang patron yang bertindak sebagai penyandang dana operasionalnya.
Bila intan yang dicari-cari tidak kunjung diperoleh dalam tempo berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, maka kelompok pendulang intan itu akan bubar dengan sendirinya, karena patron yang menjadi penyandang dananya akan jatuh bangkrut persis seperti bandar judi yang jatuh miskin karena kalah berjudi.
Pekerjaan mendulang intan sekarang ini sudah identik dengan pekerjaan yang sangat tinggi risikonya. Para pendulang intan sekarang ini harus berani berspekulasi pada tingkat yang paling ekstrim seperti halnya para penjudi kelas kakap yang berani mempertaruhkan segalanya tanpa pikir panjang.
Tidak hanya risiko finansial yang harus ditanggung oleh para pendulang intan sekarang ini, tetapi juga risiko kecelakaan kerja. Menurut catatan, selama kurun waktu 2005-2008 telah terjadi 17 kali kecelakaan kerja dengan jumlah korban 33 orang pendulang intan tewas secara mengenaskan.
Selain risiko kekurangan oksigen, para pendulang intan itu juga menghadapi risiko tertimbun tanah longsor. Paling akhir terjadi kecelakaan kerja tanah logsor dengan jumlah korban 3 orang tewas dan 1 orang luka parah (3 September 2008).
Lubang pendulangan intan sedalam 5-25 meter merupakan tempat kerja yang sangat riskan bagi para pendulang intan. Lubang yang berair dan konstruksi tanah yang labil (tidak padat menyatu tetapi longgar dan lembek) sangat mudah longsor.
Situasi buruk ini semakin diperparah lagi dengan adanya getaran pada tanah permukaan yang berasal dari getaran yang ditimbulkan oleh mesin diesel penyedot air yang beroperasi secara bersamaan dalam jumlah ratusan buah di sebuah lokasi pendulangan intan.
Sungguhpun demikian, para pendulang intan yang sedang mengadu nasib di berbagai lokasi pendulangan intan di Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru Kalsel, masih tetap bersemangat menekuni pekerjaan turun temurun yang berisiko tinggi dan sangat spekulatif ini.
Mereka pada umumnya enggan beralih profesi, karena hanya itulah pekerjaan yang secara psikologis dapat mereka kerjakan dengan senang hati. Mereka dapat saja beralih profesi sebagai pekerja kasar di sektor lain, tetapi mereka tidak memilihnya sebagai profesi baru, karena pekerjaan itu sama sekali tidak menyenangkan mereka secara psikologis.
Berkaitan dengan masalah kematian akibat kecelakaan kerja, para pendulang intan pada umumnya bersikap tak peduli. Mereka berpendapat maut tidaklah memilih tempat, jika memang sudah nasib seorang pendulang intan bisa mati di mana saja. Tidak hanya di dalam lubang pendulangan akibat tertimbun tanah longsor, tetapi juga bisa terjadi di atas kasur empuk hotel berbintang lima ketika sedang menikmati uang hasil penjualan intan temuannya sebesar telur burung puyuh.

INTAN KARAMUNTING

Oleh Tajuddin Noor Ganie

Sejak kecil aku sudah akrab dengan lingkungan pendulangan intan.
Kampung Guntung Lua, tempat tinggalku pada tahun 1969-1979, merupakan salah satu lokasi pendulangan intan yang terbilang penting di kota Banjarbaru.
Kampung Guntung Lua terletak di tepi sungai Kemuning.
Para pendulang intan yang aktif bekerja pada kurun waktu 1970-an pasti mempunyai kenangan tersendiri atas sungai Kemuning.
Hal ini mengingat di tepi kiri dan kanan sungai Kemuning inilah mereka dulu bekerja mendulang intan.
Lokasi pendulangan intan di kota Banjarbaru ketika itu terbentang sepanjang dua kilometer. Mulai dari kampung Karamunting di hulu sampai ke kampung Guntung Lua di hilir.
Terkait dengan aktifitas pendulangan intan di sepanjang tepi kiri dan kanannya inilah maka air sungai Kemuning selalu keruh sepanjang hari.
Uniknya, hingga sekarang air sungai Kemuning masih tetap keruh. Padahal, sudah puluhan tahun kegiatan pendulangan intan tidak lagi dilakukan orang di sini.
Aku memulai karierku sebagai pendulang intan sejak tahun 1970. Usiaku ketika itu baru 12 tahun. Aku lahir di Banjarmasin pada tahun 1958. Namun sejak tahun 1960 aku sudah diboyong orang tuaku pindah ke kota Banjarbaru.
Mula-mula aku ikut ayahku mendulang intan di kampung Guntung Lua tak jauh dari rumahku.
Aku dan kakakku bertugas membawa batu dulangan dari tumpukannya di sekitar lokasi lubang galian ke lokasi pencuciannya di tepi sungai.
Batu dulangan itu kami masukan ke dalam bakul purun lalu kami panggul sebakul demi sebakul ke lokasi pencuciannya. Jarak yang harus kami tempuh cukup jauh, sekitar 200 meter.
Aku masih ingat, aku ketika itu sering ditegur ayahku karena selalu berkacak pinggang.
Sekali waktu aku bahkan ditimpuk orang dengan sebutir batu kerikil oleh seorang pendulang intan lain yang marah karena aku bersiul-siul di lokasi pendulangan intan.
Belakangan barulah aku mengetahui jika berkacak pinggang dan bersiul-siul di lokasi pendulangan intan sangat tabu dilakukan.
Para pendulang intan membayangkan intan yang sedang mereka cari dengan susah payah itu ditaburkan oleh para gadis yang berasal dari alam gaib bawah tanah (bahasa Banjar alam subalah). Dua di antara gadis penabur intan itu konon bernama Siti Anggani dan Putri Sahanjani.
Siang hari, ketika para pendulang intan sedang asyik bekerja, Siti Anggani, Putri Sahanjani, dan kawan-kawannya yang lain bekerja menaburkan butiran intan ke dalam lubang pendulangan yang sedang digali orang.
Siti Anggani, Putri Hanjani dan kawan-kawan itu konon mondar-mandir kian ke mari dari lubang yang satu ke lubang yang lain. Mereka memilih lubang yang layak untuk ditaburi intan.
Pemilik lubang yang mereka pilih untuk ditaburi intan adalah pendulang intan yang mereka nilai paling tertib. Dalam hal ini pendulang intan yang tidak pernah melanggar tabu-tabu yang berlaku.
Konon, para gadis dari alam gaib yang bertugas menaburkan butiran intan ke dalam lubang galian itu akan segera lari bertemperasan begitu melihat ada orang berdiri sambil berkacak pinggang atau mendengar suara siulan.
Rupa-rupanya, karena itulah maka ada pendulang intan lain yang tanpa segan-segan menimpukku dengan batu kerikil begitu mengetahui akulah orang yang bersiul di lokasi pendulangan intan.
Aku dengan refleks menoleh ke arah orang yang menimpukku. Orang itu menyeringai sambil memberi isyarat agar aku berhenti bersiul dengan cara menyilangkan jari telunjuk ke bibirnya.
Tidak hanya itu, orang itu juga mengirimkan isyarat bernada ancaman, ia mengacungkan tinjunya ke arahku. Aku jadi keder, nyaliku langsung ciut karena para pendulang intan lainnya sepertinya berpihak kepada orang itu.
Untunglah, ayahku tidak menyaksikan adegan panas itu, karena beliau ketika itu tengah berada di dalam lubang pendulangan. Beliau sedang asyik mengeruki batu dulangan yang menilik dari warna dan bentuk fisiknya diduga mengandung banyak intan.
Selain berkacak pinggang dan bersiul masih banyak tabu-tabu lain yang juga harus diperhatikan oleh seorang pendulang intan.
Beberapa tabu lain yang masih kuingat antara lain.
Satu : menyalakan api
Dua : membawa ayam
Tiga : melenggang-lenggokan badan
Empat : berpakaian seksi yang dapat merangsang nafsu birahi lawan jenis
Lima : menunjuk sesuatu dengan jari telunjuk. Segala sesuatu yang ada di lokasi pendulangan intan harus ditunjuk dengan menggunakan jari jempol.
Hal ini berkaitan dengan etika kesopanan. Konon, para gadis dari alam gaib yang bertugas sebagai penabur intan tidak suka melihat orang menunjuk-nunjuk dengan jari telunjuknya. Orang seperti itu dinilai sebagai orang sombong yang tidak tahu etika sopan santun.
Enam : memakan nasi di dalam lubang pendulangan. Makan siang harus dilakukan jauh dari lubang pendulangan, karena dikhawatirkan ada remah nasi yang tanpa sengaja masuk ke dalam lubang pendulangan.
Para gadis dari alam gaib itu konon sangat benci dengan nasi. Hal ini berkaitan dengan trauma masa purba sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah legenda.
Pada zaman dahulu kala padi dan intan pernah bersaing dalam merebut perhatian manusia. Ternyata manusia ketika itu memilih padi dan mengesampingkan intan.
Sejak itu intan melesak jauh ke dalam perut bumi sehingga sulit sekali dicari. Intan baru dapat diperoleh jika ada orang gaib bawah tanah berkenan membawakannya dari dalam perut bumi ke atas permukaan bumi.
Tujuh : masih berkaitan dengan legenda purba dimaksud, seorang pendulang intan juga ditabukan menggali lubang pendulangan di areal persawahan.
Begitu tabu itu dilanggar, maka areal persawahan itu akan berubah menjadi tanah walang (mandul) yang tidak dapat lagi ditanami padi.
Delapan : bersin di lubang pendulangan. Hal ini tabu dilakukan karena para gadis dari alam gaib akan terkejut mendengarnya dan mereka akan langsung pulang kembali ke alam bawah tanah tempatnya bermukim selama ini.
Sembilan : kentut di lubang pendulangan. Hal ini ditabukan karena para gadis dari alam gaib sangat sensitif dengan bunyi kentut dan bau busuk yang menyebar setelah itu.
Sesungguhnya, tidak hanya para gadis dari alam gaib saja yang sensitif dengan bau kentut. Para gadis dari alam nyata juga tidak kalah sensitifnya jika mencium bau kentut beraroma telur asin, jengkol, petai, iwak wadi, atau pakasam.
Tidak percaya?
Silakan dicoba.
Sepuluh : masih berkaitan dengan bau busuk, para pendulang intan juga ditabukan untuk makan nasi dengan lalapan atau lauk pauk berupa telur asin, jengkol, petai. iwak wadi, dan pakasam.
Dapat dipastikan mulut yang bersangkutan akan menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung jika nekad makan nasi dengan lalapan atau lauk pauk yang disebutkan di atas.
Para gadis dari alam gaib diikhawatirkan tidak akan sanggup bertahan lama jika bau busuk bertebaran di seantero lokasi pendulangan intan
Sebelas : selain ditabukan makan berlalap dan berlauk telur asin, jengkol, petai, iwak wadi, atau pakasam. Seorang pendulang intan juga ditabukan membawa lauk pauk yang digulai dengan bumbu lombok merah (bahasa Banjar, masak habang).
Konon para gadis dari alam gaib sangat takut dengan darah. Mereka mengira semua yang berwarna merah sudah pasti adalah darah
Dua belas : berkelahi di pendulangan intan, apalagi sampai menumpahkan darah.
Tiga belas : masih berkaitan dengan darah. Wanita yang sedang mensturasi ditabukan untuk berada di lokasi pendulangan intan
Empat belas : jika bersin dan kentut saja ditabukan, maka sudah barang tentu kencing, berak, dan meludah di dalam lubang pendulangan jauh lebih tabu lagi.
Lima belas : mengibas-ngibaskan pakaian. Hal ini ditabukan karena perbuatan dimaksud bisa disalah-tafsirkan oleh para gadis dari alam gaib sebagai isyarat pengusiran.
Enam belas menyentuhkan rambut pada semua alat kerja mendulang intan, terutama sekali linggangan.
Tujuh belas : mengucapkan kata intan selama berada di lokasi pendulangan intan. Kata ganti untuk itu adalah galuh.
Konon, para gadis dari alam gaib sangat marah mendengar ada orang yang berani menyebut kata intan tanpa tedeng aling-aling.
Hal itu dianggap melanggar etika kesopanan. Sama tidak sopannya dengan seorang anak yang begitu berani memanggil orang lain yang usianya lebih tua dengan cara langsung menyebut namanya tanpa embel-embel sama sekali (bahasa Banjar, basisi).
Delapan belas : mengucapkan kata-kata berkonotasi porno. Semua kosa-kata yang ada hubungannya dengan urusan perkelaminan pria dan wanita sangat ditabukan di pendulangan intan. Sama tabunya dengan mengucapkan kata intan.
Sembilan belas : selain kata intan dan kata-kata berkonotasi porno, masih ada sejumlah kata lain yang juga tabu untuk diucapkan dan harus harus diganti dengan kata lain.
Contoh, bulik (bahasa Banjar, artinya pulang harus diganti dengan mara). Dapat (bahasa Banjar, artinya memperoleh diganti dengan pakulih). Hujan (runtuh). Makan (muat). Nasi (biji). Sial (licung). Tulak (bahasa Banjar artinya pergi, harus diganti menjadi para). Turun (bahasa Banjar, artinya masuk ke dalam lubang galian, harus diganti menjadi mara), dan ular (akar).
Selain berusaha menarik simpati dengan cara berusaha keras menahan diri agar tidak melanggar tabu-tabu yang dilarang, para pendulang intan juga berusaha menarik simpati Siti Anggani, Putri Sahanjani, dan kawan-kawannya dengan cara merayunya dengan membaca mantra-mantra tertentu.
Mantra-mantra yang masyhur di kalangan pendulang intan antara lain.

Bismillahi rahmanii rahiim
Fiddakun ya Allah balwah
Kunci Nabi Muhammad
Kunci Nabi Sulaimanb
Yaqu itu
(Daud, Alfani. 1997:451)

Bismillahi rahmanii rahiim
Ya tsbaitha ya tsabitum
(Daud, Alfani. 1997:451)

Batum kunci Allah
Biltum kunci Sulaiman
Batuan batu
(Daud, Alfani. 1997:451)

Bismillahi rahmanii rahiim
Allahuumma mallaqtha
Waya jabbal baraya
Jabbal kunu baraya
Bawanahu Sulaiman
Ini kunci Sulaiman
Ya Allah Ya Allah
(Daud, Alfani. 1997:451)

Hai Siti Anggani
Janganlah engkau tutupi
Janganlah engkau melangkah lagi
Kami datang menuntut bagian kami
Kami datang dibawa Putri Sahanjani
(Daud, Alfani. 1997:451).

Bismillahi rahmanii rahiim
Allahummin dakhak fi surat
Sulaiman wa malak surat
Sulaiman wa al Maghrib
Fi dzatih wa shifatih
Wa quatih wa salamih Jibril
Wa Mikail wa Israil wa Izrail
Wa malak surat Sulaiman
Wa al rizki wa al iin
Allahumma taqabbal Sulaiman
Bin Daud alaihis salam
Birahmatika ya arhama rahimiin
Wa shali Allah
(Daud, Alfani. 1997:451)

Terus terang, selama menjadi pendulang intan aku tak pernah merayu Siti Anggani, Putri Hanjani, dan kawan-kawannya dengan cara membaca mantra-mantra di atas.
Ketika itu aku belum tahu jika ada mantra-mantra tertentu yang harus dibaca oleh seorang pendulang intan supaya Siti Anggani, Putri Hanjani, dan kawan-kawannya tertarik menaburkan intan yang dibawanya ke dalam lubang pendulangan yang sedang dikerjakannya..
Lubang pendulangan yang kami gali di kampung Guntung Lua termasuk lubang dangkal. Cuma sedalam 1 meter dan tidak berair sehingga dapat dikerjakan dengan mudah oleh 2-4 orang pendulang intan saja (kelompok kecil).
Hehehe, meskipun telah berulang kali melanggar tabu. Namun rupanya para gadis dari alam gaib masih dapat mentolerirnya.
Boleh jadi karena tabu yang kulanggar termasuk tabu tipiring (tindak pidanan ringan).
Buktinya, dari dalam lubang pendulangan yang kami gali ditemukan beberapa butir intan kecil berukuran 1-3 piat.
Pengalaman yang sesungguhnya sebagai seorang pendulang intan baru kurasakan beberapa tahun kemudian. Tahun 1976, aku mengadu nasib di kampung Karamunting.
Pada saat mendulang intan di tempat inilah aku merasakan bagaimana dahsyadnya sensasi ketika seorang pendulang intan berhasil menemukan sebutir intan di dalam linggangannya sendiri (bahasa Banjar, micik).
Intan yang kuperoleh tidaklah besar, cuma 2 piat. Tapi pengalaman itu rasanya sangat dahsyad dan tidak semua pendulang intan pernah mengalaminya.
Mungkin sama dahsyadnya dengan pengalaman pertama kali mengecup bibir pacar yang kita cintai setengah mati. Wow, wow, wow.
Aku masih ingat, sebelum berhasil menemukan Intan Karamunting itu, aku bermimpi didaulat orang menjadi guru di sebuah sekolah dasar. Pendaulatan dilakukan di depan kelas dengan acara pemasangan sorban di kepalaku yang dilakaukan oleh Kepala Sekolah
Mimpi yang aneh, karena bagaimana mungkin, aku yang baru duduk di bangku kelas 2 SMEA Negeri Martapura didaulat jadi guru.
Mimpi bagi para pendulang intan merupakan isyarat awal akan datangnya keberuntungan.
Menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut, beberapa hari sebelum menemukan intan Trisakti (167 karat) pada tanggal 26 Agustus 1965, H Madslam dan kawan-kawan juga bermimpi.
H. Madslam salah seorang pendulang intan di Kecamatan Cempaka bermimpi menggiring ratusan ekor kerbau menuju ke sebuah bukit. Begitu kerbau-kerbau itu sampai ke tempat yang dituju, H. Madslam terbangun dari tidurnya.
Pada waktu yang sama, H. Sarimanis, seorang pendulang intan yang ketika itu berstatus sebagai salah seorang anak buah H. Madslam, bermimpi tubuhnya ditindih seseorang yang bertubuh tambun.
Ia hampir kehabisan nafas. Untunglah, pada saat yang kritis itu datang bantuan dari seseorang. Orang itu menolongnya membebaskannya dari tindihan orang bertubuh gempal. Setelah itu, H. Sarimanis terbangun dari tidurnya.
H. Masykur bin H. Jerman, seorang pendulang intan yang ketika itu juga berstatus sebagai salah seorang anak buah H. Madslam, bermimpi melihat sejumlah mayat berserakan di bibir mulut lubang pendulangan intan yang sedang mereka garap sejak beberapa hari yang lalu.
H. Tahir, seorang pendulang intan yang ketika itu juga berstatus sebagai salah seorang anak buah H. Madslam, bermimpi melihat dua andaru (meteor). Satu andaru jatuh ke dalam lubang pendulangan, dan andaru yang satunya lagi jatuh ke atap rumah H. Madslam.
Masih cerita tentang mimpi.
Safruddin, penemu intan Putri Noorsehat (66 karat) pada tanggal 12 Mei 2002 bermimpi disuruh orang menguras WC.
Awi Hassan, penemu intan Gauh Luk Punduh (16,5 karat) pada tanggal 29 November 2004 bermimpi dipukuli ibunya sampai babak belur.
Pengalaman ke dua menemukan intan di dalam linggangan sendiri kualami beberapa tahun kemudian. Ketika itu aku iseng-iseng mendulang intan di sungai tak jauh dari rumahku. Mendulang intan di sungai seperti yang aku lakukan ini lajim disebut menggangsar.
Boleh jadi karena sudah pernah berpengalaman sebelumnya, maka pengalaman ke dua tidaklah sedahsyad pengalaman pertama.
Jika pada pengalaman pertama aku sampai tertegun-tegun dibuatnya, maka pada kali yang kedua ini terasa biasa-biasa saja.
Jika pada pengalaman pertama aku sampai tertegun-tegun dibuatnya, maka pada kali yang kedua ini terasa biasa-biasa saja.
Tahun 1978, terbetik berita ada sekelompok pendulang intan berhasil menemukan sebutir intan besar di lokasi pendulangan intan Tambak Kariwaya.
Seingatku berita ini dibuat secara besar-besaran di berbagai surat kabar terbitan Banjarmasin.
Aku tertarik ikut mengadu nasib di sana.
Lokasi pendulangan intan Tambak Kariwaya terletak di tengah-tengah hutan rawa. Di sana-sini banyak tumbuh kayu galam dan belangiran. Terletak sekitar 5 kilometer dari raya Jenderal Ahmad Yani kilometer 19 Landasan Ulin.
Dulu, ketika aku mendulang intan di sana, belum ada tanda-tanda fisik apapun juga di mulut jalan masuk ke sana. Sekarang ini aku lihat di sana sudah dibangun semacam tugu yang dibuat dari kayu gelondongan.
Aku sering menyebutnya sebagai tugu PDIP karena tugu itu dihiasi dengan gambar banteng kekar bermoncong putih (lambang partai PDIP).
Suasana di pendulangan intan Tambak Kariwaya ketika itu sangat ramai. Para pendulang intan berdatangan dari seluruh daerah Kalsel, terutama sekali dari Martapura, Banjarbaru, dan Banjarmasin.
Pulang pergi setiap hari dari Banjarbaru ke lokasi pendulangan intan Tambak Kariwaya ini aku lakukan dengan menumpang mobil gratis milik seorang warga kota Banjarbaru yang kukenal dengan baik.
Pemilik mobil yang juga bekerja sebagai pendulang intan itu bersedia memberikan tumpangan gratis kepada beberapa orang warga kota Banjarbaru.
Namun, jika nanti berhasil memperoleh intan maka yang bersangkutan harus memberikan bagian sebesar 20 prosen kepadanya selaku pemilik mobil yang memberikan tumpangan secara gratis.
Setelah berjalan selama 2 minggu, suatu pagi aku dilarang oleh pemilik mobil untuk ikut menumpang. Aku sempat terperanjat menerima perlakuan yang tidak bersahabat itu.
Tapi, aku tak bisa protes.
Usut punya usut, ternyata ada seorang teman yang iseng-iseng menyebarkan isyu ke sana ke mari bahwa aku telah memperoleh sebutir intan yang cukup besar (2 karat). Tapi, enggan memberikan bagian yang 20 prosen kepada pemilik mobil tumpangan.
Sejak peristiwa itu aku berhenti sebagai pendulang intan.
PASANG SURUT USAHA TAMBANG INTAN MEKANIS DI KALIMANTAN SELATAN
Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Sangat mengejutkan berita yang dilansir oleh sejumlah surat kabar terbitan Banjarmasin tentang keputusan pihak managemen PT Galuh Cempaka Banjarbaru untuk menghentikan kegiatannya menambang intan secara mekanis yang dilakoninya selama ini.
Menurut berita, keputusan itu akan dilakukan pada tanggal 1 Januari 2009 yad. Sehubungan dengan itu, pihak perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 575 orang karyawannya. Para karyawan yang terkena PHK akan mendapat pesangon sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ketenaga-kerjaan.
Keputusan pahit itu terpaksa diambil karena kondisi perusahaan yang semakin terpuruk akibat terkena dampak krisis keuangan di Amerika Serikat. Kondisi keuangan yang demikian itu membuat orang berpikir ulang untuk membeli intan. Akibatnya, harga intan di pasaran dunia anjlok secara drastis, yakni dari 330 dollar AS menjadi 88 dollar AS per karat.
Menurut Kuncoro Hadi, Direktur PT Galuh Cempaka Banjarbaru, perusahaan yang dipimpinnya baru bisa menutup biaya operasional jika harga intan di pasaran dunia berada pada kisaran 220 dollar AS per karat (SKH Banjarmasin Post, 15 Desember 2008:15).
PT Galuh Cempaka mulai beroperasi melakukan penambangan intan secara mekanis di lokasi pendulangan intan Desa Palam, Kota Banjarbaru, sejak tahun 1999. Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan milik para penanam modal dari Indonesia, Malaysia, dan Australia.
Target eksploitasi intan yang dipatoknya adalah 35 ribu karat per tahun. Jika dalam tempo 2 tahun target itu gagal dicapai maka kegiatan eksploitasi intan itu akan dihentikan (SKH Banjarmasin Post, Jum’at, 14 Mei 1999:3).
Menjelang tibanya tahun 2001 semua pihak merasa was-was menanti berita penutupan PT Galuh Cempaka Banjarbaru. Ternyata, peristiwa yang dicemaskan oleh semua tidak terjadi pada tahun 2001. PT Galuh tetap beroperasi. Ini berarti target usaha yang dipatok sebanyak 35 ribu karat per tahun berhasil dicapai.
Bahkan, pada tahun 2001, terbetik berita aparat berwenang di Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin mencegah keberangkatan petugas PT Galuh Cempaka Banjarbaru yang akan pergi ke Jakarta membawa 3.272 butir intan senilai Rp. 6 milyar (Editorial SKH Kalimantan Post, 27 Februari 2001:4).
Intan itu merupakan hasil eksploitasi yang dilakukan pihak PT Galuh Cempaka Banjarbaru selama tahun 2001. Menurut rencana intan itu akan dibawa ke PT Logam Mulia Jakarta untuk dicuci, diamankan, ditetapkan taksiran harganya oleh Departemen Pertambangan, dan baru kemudian dijual secara terbuka kepada publik yang berminat.
Gubernur Kalsel Drs. HM Syachriel Darham mengancam akan membawa kasus ini ke Pengadilan jika pihak PT Galuh Cempaka Banjarbaru terbukti melakukan kesalahan yakni melanggar ketentuan yang tercantum di dalam hukum acara pidana yang berlaku
Berbeda dengan Gubernur Kalsel, Walikota Banjarbaru, Drs. Rudy Resnawan berpendapat tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan intan sebanyak 3.272 butir itu. Intan itu legal karena merupakan hasil penambangan yang dilakukan secara legal sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pada kesempatan itu juga terungkap bahwa ini adalah kali yang ke tiga pihak PT Galuh Cempaka Banjarbaru membawa intan hasil temuannya ke Jakarta. Jumlah intan yang berhasil dibawa ke Jakarta pada kali yang pertama dan ke dua itu lebih dari 1000 karat (SKH Banjarmasin Post, Kamis, 8 Maret 2001:3).
Pihak yang berwenang pada akhirnya mengizinkan pihak PT Galuh Cempaka membawa intan hasil temuannya itu ke Jakarta.
Pada tanggal 3 September 2006, SKH Radar Banjarmasin mengutip penjelasan Harri Suharsono, CEO PT Galuh Cempaka Banjarbaru, bahwa pihaknya setiap tahun berhasil mengeksploitasi intan sebesar 40 ribu karat. Hasil itu jauh berada di atas target awal yang dipatok, yakni 35 ribu karat.
Semua fakta yang dibeberkan di atas menunjukkan bahwa PT Galuh Cempaka Banjarbaru merupakan perusahaan tambang intan yang prosfektif. Sehingga wajar jika banyak pihak merasa terkejut setelah membaca berita tentang keputusan pihak managemen PT Galuh Cempaka Banjarbaru yang akan menghentikan kegiatan operasionalnya per 1 Januari 2009.
Sukses demi sukses yang berhasil diraih PT Galuh Cempaka Banjarbaru selama ini telah membuatnya menjadi ikon yang berjasa besar dalam menumbangkan mitos bahwa intan di daerah ini tidak dapat ditambang secara mekanis dengan peralatan yang serba canggih. Intan-intan di daerah ini masih dikuasai oleh makhluk gaib para penguasa alam bawah tanah. Sehingga intan-intan dimaksud hanya dapat ditambang secara tradisional dengan peralatan yang sangat sederhana.
Boleh jadi, mitos yang sempat tumbang itu akan bangkit kembali, bahkan semakin kokoh pasca ditutupnya PT Galuh Cempaka Banjarbaru. Secara historis, mitos dimaksud acapkali memperoleh pembenaran melalui peristiwa tumbangnya sejumlah perusahaan tambang yang berusaha menambang intan secara mekanis.
Menurut catatan yang ada pada penulis, pada tahun 1888 sudah ada perusahaan tambang mekanis yang berusaha menggali kekayaan alam yang terpendam di dalam perut bumi di daerah ini. Tidak ada catatan yang pasti tentang apa, siapa, dan nama perusahaan tambang intan yang beroperasi pada tahun 1888 itu. Dalam catatan yang ada pada penulis cuma disebutkan perusahaan tambang intan itu merupakan usaha patungan milik pengusaha Belanda dan Perancis.
Sayang sekali, perusahaan tambang intan mekanis itu tidak dapat bertahan lama. Tahun 1890, perusahaan tambang intan dimaksud menghentikan kegiatannya mengeksploitasi intan di bekas wilayah Kerajaan Banjar. Biaya eksploitasi yang dikeluarkannya tidak sebanding dengan hasil eksploitasinya.
Tahun 1949, PT AT Mining Co mencoba peruntungan nasibnya sebagai perusahaan penambangan intan modern di lokasi pendulangan intan rakyat di kawasan yang sekarang ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru). Namun, tidak lama berselang, PT AT Mining Co terpaksa menghentikan kegiatan usahanya. Perusahaan pertambangan ini jatuh bangkrut karena biaya eksploitasi yang dikeluarkannya lebih besar dibandingkan hasil eksploitasi yang berhasil dieksploitasinya.
Tahun 1949, Van Bemmalen mempublikasikan hasil penelitian tentang kandungan intan yang terdapat dalam pipa pamali. Menurutnya, pipa pamali ultrabasic rock intrusive breccia mengandung potensi intan 0.035 karat dalam setiap ton batu galiannya. Jumlah ini sangat kecil sehingga tidak akan menguntungkan jika dieksploitasi secara mekanis.
Tahun 1965, pemerintah pusat melihat ada objek-objek tertentu di Kalsel yang dapat digarap sebagai sumber dana yang potensial untuk membiaya pembangunan nasional dan menambah devisi negara, yakni pertambangan intan di Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru). BPU Pertambun menugaskan Do’a Sulaiman dan seorang ahli pertambangan untuk menjajaki kemungkinan pemerintah ikut menambang intan secara mekanis di Kecamatan Cempaka.
Data yang berhasil mereka kumpulkan dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang negatif. Dari setiap ton tanah yang digali peluangnya cuma mendapatkan 0,4 karat karat saja. Sehubungan dengan itu BPU Pertambun kemudian memutuskan untuk menjadi pembeli intan hasil temuan para pendulang intan saja.
Tidak lama kemudian dibentuklah Badan Intan Indonsia yang langsung berada di bawah kendali Presiden Soekarno sebagai Ketua Badan. Menteri Pertambangan ketika itu menunjuk Ir. Riduan Mahmud sebagai Kepala Pelaksana Pertambangan dan Do’a Sulaiman sebagai Kepala Proyek Pembelian.
Tahun 1973, dipicu oleh penemuan Intan Trisakti pada tahun 1966, maka pemerintah pusat melalui PN Aneka Tambang membentuk perusahaan tambang Unit Intan di Awang Bangkal, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, sekarang ini.
Sejumlah alat berat yang bakal digunakan sebagai sarana kerja untuk menambang intan secara mekanis didatangkan ke daerah ini. Begitu pula halnya dengan tenaga ahli, karyawan, dan tenaga buruh kasarnya juga direkrut dan didatangkan ke daerah ini.
Tidak sedikit warga lokal daerah ini yang juga diterima bekerja sebagai karyawan perusahaan dengan gaji yang sangat menggiurkan. Kota Banjarbaru dan Martapura menjadi semakin hidup dengan mulai beroperasinya tambang intan di Kecamatan Cempaka itu.
Tahun 1980, PT Palmabin Mining mulai berusaha menggali tambang intan di Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru). Tahun 1981, PT Palmabin Mining menghentikan kegiatan eksploitasi intan di lokasi yang menjadi konsesinya selama ini. Hasil tambang intan yang dikelolanya ternyata tidak menguntungkan. Biaya operasionalnya lebih besar dibadingkan dengan harga jual intan hasil temuannya.
Tahun 1983, setelah beroperasi selama 10 tahun dengan hasil eksploitasi yang tidak sebanding dengan biaya eksploitasinya, pemerintah pusat menghentikan kegiatan penambangan intan secara mekanis oleh PN Aneka Tambang Unit Intan ini. Para karyawan yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) diberi pesangon yang jumlahnya berjuta-juta rupiah. Jadi, meskipun mereka terkena PHK, mereka tetap gembira karena statusnya langsung berubah menjadi jutawan.
Tahun 1990, PT Palma Coal mulai berusaha menggali tambang intan di lokasi pendulangan intan Danau Seran, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru sekarang ini. Tahun 1991, PT Palma Coal menghentikan kegiatan eksploitasi intan di lokasi yang menjadi konsesinya di Danau Seran, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru sekarang ini. Hasil tambang intan yang dikelolanya ternyata tidak menguntungkan. Biaya operasionalnya lebih besar dibadingkan dengan harga jual intan hasil temuannya.

INTAN KERAJAAN BANJAR PERNAH DIKERUK BELANDA

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Mantan Pendulang Intan 1975-1979

Hikayat Banjar mewartakan bahwa pada tahun 1360, Patih Lambung Mangkurat orang kuat di Kerajaan Negara Dipa pernah memberikan mas kawin berupa sepuluh butir intan berukuran besar kepada Raden Putra (Pangeran Surianata) anak angkat Raja Hayam Wuruk yang ketika itu berkuasa sebagai Raja Diraja di Kerajaan Majapahit.
Menurut ceritanya, Patih Lambung Mangkurat ketika itu sedang mengemban tugas dari Putri Junjung Buih seorang Raja Putri yang berkuasa sebagai Raja Diraja di Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang pusat pemerintahannya terletak di salah satu kota besar di Kalsel sekarang ini, yakni kota Amuntai, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Tugas yang diemban Patih Lambung Mangkurat adalah melamar Raden Putra sebagai calon suami Putri Junjung Buih. Informasi tersirat yang dimuat di dalam warta Hikayat Banjar ini menarik untuk dicermati.
Ini berarti, pada zaman dahulu kala, tradisi melamar calon suami bukanlah hal yang tabu bagi para wanita di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Namun, tradisi ini tidak lagi dilakukan secara terbuka karena sistem kekerabatan etnis Banjar sekarang ini sudah berubah dari matrineal menjadi patrineal. Etnis Banjar di Kalsel menyebutnya sebagai tradisi maraih (menarik atau merangkul).
Masih ada satu informasi lain yang juga tersirat dalam warta Hikayat Banjar di atas, yakni informasi bahwa sejak zaman dahulu kala orang-orang yang tinggal di Pulau Kalimantan sudah mengenal barang tambang yang bernama intan.
Patut diduga, intan dimaksud digali di daerah-daerah yang sekarang ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Purukcahu, Kabupaten Barito Utara, Kalteng. Hal ini mengingat, lokasinya relatif dekat dengan kota Amuntai sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Negara Dipa ketika itu.
Memang, lokasi pendulangan intan yang paling terkenal sekarang ini terletak di Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, namun patut diduga daerah ini ketika itu masih digenangi air, tidak seperti sekarang sudah menjadi daratan yang dapat dihuni oleh manusia.
Raja Diraja yang berkuasa di kawasan Selatan pulau Kalimantan silih berganti dari masa ke masa. Namun, siapapun yang berkuasa sebagai Raja Diraja, pasti menjadikan intan sebagai koleksi berharga yang multiguna.
Ketika Dinasti Kerajaan Banjar berkuasa sebagai Raja Diraja di kawasan Selatan pulau Kalimantan pada tahun 1526-1905, intan tidak hanya berfungsi sebagai mas kawin, tetapi juga berfungsi sebagai cendramata politik yang ampuh untuk melunakkan hati kawan dan lawan politiknya.
Masih dari sumber yang sama, yakni Hikayat Banjar, pada tahun 1524 terbetik berita Pangeran Samudera menghadiahkan sepuluh butir intan kepada Sultan Trenggono Raja Diraja yang berkuasa di Kerajaan Demak. Hadiah diberikan sebagai upaya untuk membuka pembicaraan diplomatik perihal minta bantuan pasukan perang oleh Pangeran Samudera kepada Sultan Trenggono.
Sultan Trenggono menerima dengan senang hati semua intan tsb, dan beliau juga berkenan memberikan bantuan pasukan perang yang diminta, dengan syarat, Pangeran Samudera segera memeluk agama Islam begitu berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung yang ketika itu menjadi Raja di Raja di Kerajaan Negara Daha.
Sesuai dengan kehendak sejarah, Pangeran Samudera berhasil tampil sebagai pemenang dalam perang saudara yang terjadi antara dinasti tua melawan dinasti muda di Kerajaan Negara Daha itu. Segera setelah memenangkan perang saudara itu Pangeran Samudera memeluk agama Islam, kemudian mengganti nama kerajaannya menjadi Kerajaan Banjar, dan menobatkan dirinya sebagai Raja Diraja yang baru di kawasan Selatan Pulau Kalimantan dengan gelar Sultan Suriansyah (24 September 1526).
Pada tahun 1620, Raja Diraja yang berkuasa di Kerajaan Banjar kembali menjadikan intan sebagai cenderamata politik yang ampuh untuk melunakkan hati seorang Raja Diraja yang berkuasa di Pulau Jawa. Kali ini yang melakukannya adalah Sultan Mustainu Billah. Ketika itu ia mengutus Adipati Tapasena dan Tumenggung Raksa Nagara untuk menghadap Raja Mataram. Tugas yang diembankannya kepada kedua duta negara ini adalah membicarakan hubungan diplomatik yang harmonis antara dua negara berdaulat yang saling bertetangga itu.
Hubungan diplomatik itu sangat strategis bagi Kerajaan Banjar, karena dengan itu Sultan Mastainu Billah dapat mengimbangi kekuatan armada perang VOC Belanda yang sedang mengincar hak monopoli perdagangan lada di Kerajaan Banjar. Mengingat pentingnya hubungan diplomatik itu, maka Sultan Mustainu Billah tidak ragu-ragu memberikan cenderamata politik berupa sebutir intan sebesar telur burung merpati. Menurut catatan sejarah yang ada, intan dimaksud diberi nama Galuh Misam (anak dara yang tersenyum).
Tahun 1809, HW Daendels, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, memutuskan untuk angkat kaki dari wilayah Kerajaan Banjar karena usaha perdagangan lada yang dilakukannya selama ini selalu merugi. Sehubungan dengan itu, Sultan Sulaiman, Raja Diraja yang berkuasa di Kerajaan Banjar ketika itu berkenan memberikan ganti rugi atas benteng Belanda yang ada di Pulau Tatas (Banjarmasin) dan Taboneo (Tanah Laut) sebesar Fl 50.000 yang setara dengan 25.000 real. Namun, ganti rugi tidak diberikan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk sebutir intan sebesar 26 karat.
Dari sekian banyak dinasti yang pernah berkuasa di kawasan Selatan pulau Kalimantan ini, para raja dari dinasti Kerajaan Banjar tercatat paling banyak diberitakan sebagai kolektor intan besar. Selain Sultan Suriansyah, Sultan Mustainu Billah, dan Sultan Sulaiman Said Dullah, Sultan Adam juga diberitakan memiliki koleksi intan dengan ukuran yang relatif besar, yakni 103 karat. Pada tahun 1855 harganya ditaksir sekitar Fl 50.000 atau setara dengan 25.000 real.
Meskipun diberitakan telah angkat kaki dari wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1809, namun pada tahun 1810 pihak Belanda sudah kembali mengincar hak monopoli perdagangan lada di Kerajaan Banjar.
Peluang itu terbuka lebar ketika beberapa orang elite bangsawan di Kerajaan Banjar saling berebut kekuasaan. Pada akhirnya, pihak Belanda tidak hanya berhasil meraih hak monopoli perdagangan lada dan konsesi pertambangan batubara, namun juga kekuasaan de facto atas sejumlah wilayah di Kerajaan Banjar.
Kekuasaan de facto itu sudah barang tentu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pihak Belanda untuk mengeruk kekayaan alam yang ada di Kerajaan Banjar. Mereka tidak hanya menguasai perdagangan lada dan batubara, tetapi juga perdagangan intan.
Nilai eksport perdagangan intan pada tahun 1810-1818 diperkirakan antara 10-12 juta gulden per tahun. Berkat monopoli perdagangan intan inilah maka pada abad ke 17 itu kota Amsterdam berkembang pesat sebagai pusat perdagangan intan internasional. Bahkan status ini masih tetap disandangnya hingga sekarang ini.
Tapi, penghasilan yang dikeruk Belanda tidak hanya itu. Pihak Belanda sudah memetik hasilnya ketika intan-intan itu masih berada di dalam tanah, yakni melalui pajak yang dipungutnya dari para pendulang intan pribumi yang ingin mengadu nasib peruntungannya di tanah milik Gubernemen.
Ordonantie 25 November 1923 Staatblads Nomer 565/1923 memuat ketentuan mengenai pajak yang harus dibayar oleh penduduk pribumi yang berprofesi sebagai pendulang intan, yakni.
(1) Pertambangan intan di Martapura dan Pelaihari hanya boleh dilakukan oleh penduduk setempat
(2) Bagi penambang yang menambang tanpa menggunakan mesin, harus seizin Residen dan harus membayar F 0,5 per 6 bulan.
(3) Bagi penambang yang menambang dengan menggunakan mesin harus memperoleh izin menyewa dari Residen dengan dikenai ongkos sewa sebanyak F 0,4 per meter per tahun. Penambang diwajibkan membuat batas-batas wilayahnya dengan biaya sendiri
(4) Bagi yang melakukan penambangan tanpa izin dihukum denda F 100 per tahun.