Senin, 11 April 2011

INTAN KERAJAAN BANJAR PERNAH DIKERUK BELANDA

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Mantan Pendulang Intan 1975-1979

Hikayat Banjar mewartakan bahwa pada tahun 1360, Patih Lambung Mangkurat orang kuat di Kerajaan Negara Dipa pernah memberikan mas kawin berupa sepuluh butir intan berukuran besar kepada Raden Putra (Pangeran Surianata) anak angkat Raja Hayam Wuruk yang ketika itu berkuasa sebagai Raja Diraja di Kerajaan Majapahit.
Menurut ceritanya, Patih Lambung Mangkurat ketika itu sedang mengemban tugas dari Putri Junjung Buih seorang Raja Putri yang berkuasa sebagai Raja Diraja di Kerajaan Negara Dipa. Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang pusat pemerintahannya terletak di salah satu kota besar di Kalsel sekarang ini, yakni kota Amuntai, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Tugas yang diemban Patih Lambung Mangkurat adalah melamar Raden Putra sebagai calon suami Putri Junjung Buih. Informasi tersirat yang dimuat di dalam warta Hikayat Banjar ini menarik untuk dicermati.
Ini berarti, pada zaman dahulu kala, tradisi melamar calon suami bukanlah hal yang tabu bagi para wanita di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Namun, tradisi ini tidak lagi dilakukan secara terbuka karena sistem kekerabatan etnis Banjar sekarang ini sudah berubah dari matrineal menjadi patrineal. Etnis Banjar di Kalsel menyebutnya sebagai tradisi maraih (menarik atau merangkul).
Masih ada satu informasi lain yang juga tersirat dalam warta Hikayat Banjar di atas, yakni informasi bahwa sejak zaman dahulu kala orang-orang yang tinggal di Pulau Kalimantan sudah mengenal barang tambang yang bernama intan.
Patut diduga, intan dimaksud digali di daerah-daerah yang sekarang ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Purukcahu, Kabupaten Barito Utara, Kalteng. Hal ini mengingat, lokasinya relatif dekat dengan kota Amuntai sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Negara Dipa ketika itu.
Memang, lokasi pendulangan intan yang paling terkenal sekarang ini terletak di Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Kalsel, namun patut diduga daerah ini ketika itu masih digenangi air, tidak seperti sekarang sudah menjadi daratan yang dapat dihuni oleh manusia.
Raja Diraja yang berkuasa di kawasan Selatan pulau Kalimantan silih berganti dari masa ke masa. Namun, siapapun yang berkuasa sebagai Raja Diraja, pasti menjadikan intan sebagai koleksi berharga yang multiguna.
Ketika Dinasti Kerajaan Banjar berkuasa sebagai Raja Diraja di kawasan Selatan pulau Kalimantan pada tahun 1526-1905, intan tidak hanya berfungsi sebagai mas kawin, tetapi juga berfungsi sebagai cendramata politik yang ampuh untuk melunakkan hati kawan dan lawan politiknya.
Masih dari sumber yang sama, yakni Hikayat Banjar, pada tahun 1524 terbetik berita Pangeran Samudera menghadiahkan sepuluh butir intan kepada Sultan Trenggono Raja Diraja yang berkuasa di Kerajaan Demak. Hadiah diberikan sebagai upaya untuk membuka pembicaraan diplomatik perihal minta bantuan pasukan perang oleh Pangeran Samudera kepada Sultan Trenggono.
Sultan Trenggono menerima dengan senang hati semua intan tsb, dan beliau juga berkenan memberikan bantuan pasukan perang yang diminta, dengan syarat, Pangeran Samudera segera memeluk agama Islam begitu berhasil mengalahkan Pangeran Temenggung yang ketika itu menjadi Raja di Raja di Kerajaan Negara Daha.
Sesuai dengan kehendak sejarah, Pangeran Samudera berhasil tampil sebagai pemenang dalam perang saudara yang terjadi antara dinasti tua melawan dinasti muda di Kerajaan Negara Daha itu. Segera setelah memenangkan perang saudara itu Pangeran Samudera memeluk agama Islam, kemudian mengganti nama kerajaannya menjadi Kerajaan Banjar, dan menobatkan dirinya sebagai Raja Diraja yang baru di kawasan Selatan Pulau Kalimantan dengan gelar Sultan Suriansyah (24 September 1526).
Pada tahun 1620, Raja Diraja yang berkuasa di Kerajaan Banjar kembali menjadikan intan sebagai cenderamata politik yang ampuh untuk melunakkan hati seorang Raja Diraja yang berkuasa di Pulau Jawa. Kali ini yang melakukannya adalah Sultan Mustainu Billah. Ketika itu ia mengutus Adipati Tapasena dan Tumenggung Raksa Nagara untuk menghadap Raja Mataram. Tugas yang diembankannya kepada kedua duta negara ini adalah membicarakan hubungan diplomatik yang harmonis antara dua negara berdaulat yang saling bertetangga itu.
Hubungan diplomatik itu sangat strategis bagi Kerajaan Banjar, karena dengan itu Sultan Mastainu Billah dapat mengimbangi kekuatan armada perang VOC Belanda yang sedang mengincar hak monopoli perdagangan lada di Kerajaan Banjar. Mengingat pentingnya hubungan diplomatik itu, maka Sultan Mustainu Billah tidak ragu-ragu memberikan cenderamata politik berupa sebutir intan sebesar telur burung merpati. Menurut catatan sejarah yang ada, intan dimaksud diberi nama Galuh Misam (anak dara yang tersenyum).
Tahun 1809, HW Daendels, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, memutuskan untuk angkat kaki dari wilayah Kerajaan Banjar karena usaha perdagangan lada yang dilakukannya selama ini selalu merugi. Sehubungan dengan itu, Sultan Sulaiman, Raja Diraja yang berkuasa di Kerajaan Banjar ketika itu berkenan memberikan ganti rugi atas benteng Belanda yang ada di Pulau Tatas (Banjarmasin) dan Taboneo (Tanah Laut) sebesar Fl 50.000 yang setara dengan 25.000 real. Namun, ganti rugi tidak diberikan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk sebutir intan sebesar 26 karat.
Dari sekian banyak dinasti yang pernah berkuasa di kawasan Selatan pulau Kalimantan ini, para raja dari dinasti Kerajaan Banjar tercatat paling banyak diberitakan sebagai kolektor intan besar. Selain Sultan Suriansyah, Sultan Mustainu Billah, dan Sultan Sulaiman Said Dullah, Sultan Adam juga diberitakan memiliki koleksi intan dengan ukuran yang relatif besar, yakni 103 karat. Pada tahun 1855 harganya ditaksir sekitar Fl 50.000 atau setara dengan 25.000 real.
Meskipun diberitakan telah angkat kaki dari wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1809, namun pada tahun 1810 pihak Belanda sudah kembali mengincar hak monopoli perdagangan lada di Kerajaan Banjar.
Peluang itu terbuka lebar ketika beberapa orang elite bangsawan di Kerajaan Banjar saling berebut kekuasaan. Pada akhirnya, pihak Belanda tidak hanya berhasil meraih hak monopoli perdagangan lada dan konsesi pertambangan batubara, namun juga kekuasaan de facto atas sejumlah wilayah di Kerajaan Banjar.
Kekuasaan de facto itu sudah barang tentu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pihak Belanda untuk mengeruk kekayaan alam yang ada di Kerajaan Banjar. Mereka tidak hanya menguasai perdagangan lada dan batubara, tetapi juga perdagangan intan.
Nilai eksport perdagangan intan pada tahun 1810-1818 diperkirakan antara 10-12 juta gulden per tahun. Berkat monopoli perdagangan intan inilah maka pada abad ke 17 itu kota Amsterdam berkembang pesat sebagai pusat perdagangan intan internasional. Bahkan status ini masih tetap disandangnya hingga sekarang ini.
Tapi, penghasilan yang dikeruk Belanda tidak hanya itu. Pihak Belanda sudah memetik hasilnya ketika intan-intan itu masih berada di dalam tanah, yakni melalui pajak yang dipungutnya dari para pendulang intan pribumi yang ingin mengadu nasib peruntungannya di tanah milik Gubernemen.
Ordonantie 25 November 1923 Staatblads Nomer 565/1923 memuat ketentuan mengenai pajak yang harus dibayar oleh penduduk pribumi yang berprofesi sebagai pendulang intan, yakni.
(1) Pertambangan intan di Martapura dan Pelaihari hanya boleh dilakukan oleh penduduk setempat
(2) Bagi penambang yang menambang tanpa menggunakan mesin, harus seizin Residen dan harus membayar F 0,5 per 6 bulan.
(3) Bagi penambang yang menambang dengan menggunakan mesin harus memperoleh izin menyewa dari Residen dengan dikenai ongkos sewa sebanyak F 0,4 per meter per tahun. Penambang diwajibkan membuat batas-batas wilayahnya dengan biaya sendiri
(4) Bagi yang melakukan penambangan tanpa izin dihukum denda F 100 per tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar